”…Orang tua yang begitu pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu berbicara serta menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu : selamanya ia hidup miskin dan miskin. ” (Prof. Schermerhon, ketua delegasi Belanda pada perundingan Linggarjati, dalam Het dagboek van Schermerhon).
Didalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang-gang padat rumah di Jatinegara ada sebuah rumah mungil dengan satu ruangan besar. Begitu pintu di buka, akan ada koper-koper berkumpul di pojok rumah serta kasur-kasur digulung di pojok lain ruangan besar itu. Disanalah tempat tidur H. Agus Salim bersama istri serta ketujuh anaknya.
Dikontrakan yang lain, H. Agus Salim, kira-kira enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari hingga tempat tidur rumahnya. Terkadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. H. Agus Salim berpendapat kalau dengan berbuat sekian ia merasa mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu butuhkan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri. Begitulah seperti diceritakan Mr. Roem, murid dari H. Agus Salim yang juga tokoh Masyumi.
Kesederhanaannya yang mengagumkan yaitu saat H. Agus Salim ikhlas berjualan minyak tanah, sebatas memenuhi keperluan hidupnya. Tanpa ada rasa malu ia menjualnya dengan cara mengecer, walau ketika itu dia telah pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri serta perwakilan tetaplah Indonesia di PBB. Bahkan waktu ada acara di Yogyakarta, Agus Salim terpaksa membawa minyak tanah serta menjualnya di sana. Hasil penjualan minyak tanah itu, lanjut Roem, dipergunakan untuk menutupi biaya perjalanan Jakarta – Yogyakarta.
Anies Baswedan dalam ‘Agus Salim : Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakan’ mengatakan kalau Agus Salim hidup sebagai Menteri dengan pola ‘nomaden’ atau geser kontrakan ke kontrakan lain. Dari satu gang ke gang lain. Berulang-kali Agus Salim pindah rumah bersama keluarganya.
Pernah, pada salah satu kontrakkan, toiletnya rusak. Setiap Agus Salim menyiram WC, air dari dalam meluap. Sang istri juga menangis sejadi-jadinya, karena baunya yang meluber serta air yang meleber. Zainatun Nahar istrinya, tidak kuat lagi menahan jijik hingga ia muntah-muntah. Agus Salim akhirnya melarang istrinya buang kakus di WC serta ia sendiri yang buang kotoran istrinya memakai pispot.
Kasman Singodimedjo (tokoh Muhammadiyah serta Masyumi, Ketua KNIP Pertama), dalam ‘Hidup Itu Berjuang’ mengutip pengucapan mentornya yang paling populer ; pada ceramahnya dihadapan Bung Karno, Bung Syahrir, serta Soeharto, H. Agus Salim menyampaikan “Memimpin yaitu menanggung derita, bukanlah menumpuk harta. ”
Pada saat salah satu anak Salim meninggal dunia ia bahkan tidak punya uang untuk beli kain kafan. Salim membungkus jenazah anaknya dengan taplak meja serta kelambu. Ia menampik pemberian kain kafan baru. “Orang yang masihlah hidup lebih berhak menggunakan kain baru, ” kata Salim. “Untuk yang mati, cukup kain itu. ”
Dalam Buku ‘Seratus Tahun Agus Salim’ Kustiniyati Mochtar menulis, “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja. ”
Lihatlah, bagaimana tidak ada sumpah serapah petinggi memohon kenaikan jabatan, tunjangan rumah dinas, tunjangan kendaraan, tunjangan kebersihan WC, tunjangan dinas ke luar negeri untuk pelesiran, tunjangan kasur, tunjangan lobster dan lain-lain.
Kita pasti rindu sosok seperti H. Agus Salim, bukanlah mengenai miskinnya, namun mengenai ruangan kesederhanaannya yang isi kekosongan nurani rakyat, satu keteladanan yang mulai memudar di dalam gemerlap karpet merah Istana serta Senayan.