Kian lebih 1. 000 rumah warga Rohingya di lima desa negara sisi Rakhine, Myanmar, rata dengan tanah. Laporan berdasar pada penilaian satelit instansi Human Right Watch ini mematahkan klaim pemerintah Myanmar masalah efek kekerasan pada Rohingya yang mencapai puncak akhir th. ini.
Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya, Senin (21/11), menyampaikan sekurang-kurangnya ada 1. 250 bangunan punya warga Rohingya yang hancur akibat terbakar atau ambruk lantaran serangan militer atau warga di distrik Maungdauw, Rakhine, pada 10-18 November. Citra satelit juga tunjukkan titik api yang masihlah menyala di sebagian desa distrik itu sepanjang sekian hari dari 12-15 November lantas.
Jumlah rumah warga Rohingya yang hancur ini bertentangan dengan klaim pemerintah yang menyampaikan " cuma " ada 300 bangunan yang dirusak. HRW menekan pemerintah Myanmar selekasnya bergerak untuk menyelidiki serangan pada warga Rohingya, daripada cuma membela diri serta menuding " teroris " ada dibalik serangan itu.
" Dari pada merespons dengan tudingan style jaman militer serta menyanggahnya, pemerintah semestinya lihat kenyataannya. Citra satelit yang mencemaskan ini tunjukkan kehancuran desa-desa Rohingya tambah lebih jelek di banding yang disadari pemerintah, " kata Brad Adams, direktur Asia untuk HRW.
Kekerasan pada warga Rohingya di Myanmar kembali mencapai puncak sesudah berlangsung serangan pada pos polisi pada 9 Oktober lantas, menewaskan sembilan aparat. Pemerintah Myanmar menuding " teroris Rohingya " ada dibalik serangan itu, tetapi belum ada bukti yang pasti masalah tuduhan itu.
Myanmar lalu jadikan distrik Maungdaw sebagai " zona operasi militer " dengan mengaplikasikan penggeledahan, jam malam serta pembatasan gerakan warga. Dalam operasi ini, dilaporkan 70 warga Rohingya tewas terbunuh, kian lebih 400 orang ditahan.
Tentara juga dituding lakukan pelanggaran HAM dengan menjarah, membakar rumah, menyiksa serta memperkosa warga Rohingya. Menurut laporan PBB, kian lebih 30 ribu warga Rohingya kehilangan rumah. Mereka lalu coba kabur ke Bangladesh, namun tak diijinkan melintas.
Pemerintahan Myanmar pimpinan Aung San Suu Kyi menyanggah terjadinya pelanggaran HAM. Tetapi mereka juga tak memperbolehkan penyidik internasional serta jurnalis untuk masuk lokasi Rohingya yang hancur. Diluar itu, instansi pertolongan kemanusiaan juga terhalang masuk daerah itu lantaran dihindari pemerintah.
Rohingya yaitu warga minoritas Myanmar yg tidak mempunyai kewarganegaraan. Pemerintah Myanmar menampik mengaku mereka lantaran dikira keturunan Bangladesh, meski sudah tinggal sebagian generasi di negara itu. Pemerintah Bangladesh juga menampik mengaku mereka, bikin Rohingya terombang-ambing tanpa ada status.
PBB menjuluki Rohingya sebagai orang-orang paling tertindas didunia. Th. 2012, kian lebih 100 warga Rohingya tewas dibunuh oleh grup Buddha radikal pimpinan biksu Wirathu.
Pelapor spesial PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, menekan pemerintah Suu Kyi untuk selekasnya melakukan tindakan serta membuat perlindungan warga sipil Rohingya. Lee menyayangkan kekerasan pada Rohingya senantiasa dibekingi oleh militer.
" Aparat keamanan semestinya tak diberikan katebelece (surat sakti) untuk tingkatkan operasi mereka, " kata Lee dalam pernyataannya, diambil AFP. (den)